Tangerangupdate.com (30/11/2021) | Opini — Dalam konsep negara hukum semisal Indonesia, tentu tidaklah terlepas dari konstitusi. Semua elemen kelembagaan negara tunduk di bawah konstitusi. Seperti halnya kekuasaan kehakiman yang dinyatakan secara eksplisit merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Dan salah satu kekuasaan kehakiman yang sangat fundamental paska amandemen konstitusi yakni lembaga yang bernama Mahkamah Kontistusi.
Oleh UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi merupakan negative legoislator yang ditugaskan untuk mengawal konstitusi (the guardian of the constitution) agar tidak dicederai oleh regulasi-regulasi dibawahnya yang bersifat inksonstiotusional. Berdasarkan ketentuan pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji peraturan berupa undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Konsep dasar dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ini, memiliki landasan yang sangat fundamental. Akan tetapi, melihat dinamika ketatanegaraan akhir-akhir ini, nampaknya putusan Mahkamah Konstitusi telah kehilangan esensi yang sebenarnya. Mahkamah Konstitusi melalui putusannyan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji keabsahan UU Omnibus Law atau UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang dimana amar putusanya menyatakan UU Omnibus Law atau UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat secara terang benderang telah keluar dari konstitusi.
Dasar filosofis tentang putusan Mahkamah Kontitusi yang termaktub di dalam konstitusi, dalam menguji undang – undang terhadap Undang – Undang dasar hanyalah mengenal putusan konstitusional dan inkonstitusional bukan dengan adanya tambahan frasa bersyarat. Sebab hal ini untuk menjamin tegaknya supremasi hukum dan menciptakan iklim bernegara yang sesuai dengan tuntuan negara hukum. Artinya putusan inkostitusional bersyarat sejatinya tidak memiliki basis legalitas yang dipersyaratkan dalam sebuah negara hukum.
Kedua, jika diselami secara mendalam, putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji keabsahan UU Omnibus Law atau UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dengan memberikan batasan selama tenggang waktu dua tahun kepada pihak-pihak terkait untuk melakukan perubahan atau memperbaiki UU Omnibus Law, sudah mencederai spririt konstitusi. Sebab, putusan inkonstitusional bersyarat ini, seakan Mahkamah Konstitusi melegalkan atau mengijinkan negara hukum yang bernama Indonesia, mejalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan pada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi. Ini jelas merupakan nyata pelangaran terhadap konstitusi atau UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yang memberikan putusan final dan mengikat (pasal 24C UUD 1945), dengan adanya putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Omnibus Law inkonstitusional bersyarat, menunjukan Mahkamah Konstitusi telah mengakui bahwa UU Omnibus Law tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku atau dengan kata lain Mahkamah Konstitusi UU Omnibus Law adalah UU bermasalah. Namun ironi, masih diberikan tenggang waktu berlaku. Sehingga ini jelas menunjukan Mahkamah Konstitusi tidak lagi bertindak sebagai pengawal konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah kehilangan ruh esensialnya dalam menegakan supremasi hukum dan keadilan.