Tangerangupdate.com – Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Subholding Pertamina yang tengah diungkap Kejaksaan Agung bukan sekadar skandal korporasi biasa.
Angka dugaan kerugian negara yang mencapai Rp193,7 triliun hanya untuk tahun 2023 adalah alarm besar bagi bangsa ini.
Jika dugaan ini terbukti benar, maka ini bisa menjadi salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, melampaui skandal Jiwasraya dan Asabri yang sebelumnya menghebohkan.
Dari pernyataan Kejagung, perhitungan kerugian negara untuk tahun 2018-2022 masih dalam proses, yang berarti potensi kerugian bisa jauh lebih besar.
Jika modus operandi yang sama digunakan selama lima tahun, bukan tidak mungkin total kerugian bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan triliun rupiah.
Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi dampak langsungnya terasa bagi masyarakat terutama dalam bentuk kenaikan harga BBM, ketergantungan pada impor minyak, hingga lemahnya investasi sektor energi akibat praktik korupsi yang mengakar.
Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka, yang sebagian besar adalah pejabat tinggi di lingkungan Pertamina. Ini menunjukkan bahwa korupsi dalam pengelolaan minyak mentah bukanlah kejahatan individu, melainkan kejahatan yang sistemik dan terstruktur.
Ketika pejabat di berbagai posisi strategis bisa bermain dalam mekanisme tata kelola minyak, maka dugaan adanya grand corruption yang melibatkan banyak aktor dengan koordinasi sistematis menjadi sangat masuk akal.
Kasus ini juga memunculkan pertanyaan kritis: Bagaimana sistem pengawasan dan pengendalian dalam BUMN energi sebesar Pertamina bisa begitu lemah sehingga dugaan korupsi sebesar ini bisa terjadi? Apakah ada pembiaran,kelalaian, atau justru keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya mengawasi?
Dampak pada Keuangan Negara dan Masyarakat
Kerugian Rp193,7 triliun bukanlah angka kecil. Sebagai perbandingan, anggaran subsidi BBM dan LPG 3 Kg pada 2023 hanya sekitar Rp95,6 triliun. Artinya, jumlah uang yang hilang dalam skandal ini bisa menutup subsidi BBM dalam 2 tahun.
Jika uang ini digunakan dengan benar, dampaknya bagi rakyat akan luar biasa bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, atau bahkan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor energi.
Lebih jauh, kasus ini juga menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM yang kerap dijustifikasi dengan alasan kenaikan harga minyak dunia atau defisit keuangan Pertamina bisa jadi hanyalah dalih. Bagaimana mungkin Pertamina mengeluhkan beban subsidi jika di saat yang sama terjadi dugaan kebocoran triliunan rupiah akibat korupsi?
Kasus ini adalah ujian besar bagi Kejaksaan Agung dan institusi penegak hukum lainnya. Dengan skala korupsi yang diduga terjadi, publik tentu berharap penyidikan ini tidak berhenti pada level direksi atau komisaris, tetapi berlanjut hingga aktor-aktor yang lebih besar yang mungkin berada di balik layar.
Apakah ada keterlibatan pejabat tinggi di kementerian terkait? Apakah ada aliran dana ke partai politik atau kelompok tertentu?
Dalam banyak kasus besar sebelumnya, penegakan hukum di Indonesia sering kali terjebak dalam fenomena “tikus kecil ditangkap, tikus besar dibiarkan”. Publik tentu berharap kasus ini tidak berakhir hanya dengan beberapa nama di lingkup direksi Pertamina, sementara dalang utama tetap melenggang bebas.
Reformasi Tata Kelola Energi
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi total dalam tata kelola energi, khususnya dalam pengawasan bisnis Pertamina dan subholding-nya. Ada beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan:
- Pemerintah harus menginstruksikan audit forensik independen terhadap seluruh transaksi minyak mentah yang dikelola oleh Pertamina dan subholding-nya sejak 2018. Hasilnya harus dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat.
- Pengawasan terhadap BUMN strategis seperti Pertamina tidak bisa lagi hanya mengandalkan internal auditor atau Kementerian BUMN. Peran BPK, KPK, dan DPR dalam pengawasan harus diperkuat, denganmekanisme pelaporan yang lebih transparan dan real-time.
- Tidak boleh ada impunitas dalam kasus ini. Siapapun yang terlibat, termasuk pejabat tinggi negara, harus diperiksa tanpa pandang bulu. Jika kasus ini sampai di pengadilan, hukuman harus mencerminkan skala kejahatannya bukan sekadar vonis ringan yang bisa dikompensasi dengan uang hasil korupsi.
- Aset tersangka harus segera disita, dan aliran dana hasil kejahatan harus ditelusuri untuk memastikan pemulihan keuangan negara. Tanpa langkah ini, negara akan terus dirugikan meskipun para tersangka dijatuhi hukuman.
Kasus ini adalah bukti nyata bahwa korupsi di sektor energi adalah ancaman serius bagi keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Jika negara tidak serius menanganinya, maka bukan hanya keuangan negara yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi penegak hukum.
Korupsi di sektor energi bukan sekadar pencurian uang negara ini adalah kejahatan yang merampas hak rakyat atas energi murah dan berkualitas. Sudah saatnya negara bertindak tegas!
Penulis: Ahmad Priatna, Peneliti Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)
Disclaimer: artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.