Tangerangupdate.com (30/01/2022) — Perdebatan panas di tengah-tengah publik hari-hari ini mengenai perpindahan Ibu Kota Negara makin hari makin memanas. Bagaimana tidak, pemerintah telah secara nyata dan realistis melakukan pembangunan di Kalimantan tepatnya di Kabupaten Paser Utara dan sebagian berada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kebijakan ini menuai berbagai macam kritikan warga negara (Civil Society).
Setidaknya ada beberapa alasan yang dimiliki pemerintah untuk memindahkan ibu kota kekalimantan. Mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek, mendorong pemerataan pembagunan ke wilayah Indonesia Timur, mengubah mindset pembangunan dari Jawa sentries menjadi Indonesia sentries, memiliki ibukota yang merepresentasikan identitas bangsa, kebhinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila, meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif.
Oleh penulis sendiri melihat alasan di atas sesungguhnya ada beberapa alasan yang nampaknya tidak berdasar jika memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan, sehingga melalui tulisan ini akan coba penulis telaah sebagai bentuk andil dalam melihat kerancauan berpikir dari kekuasaan hari-hari ini yang mengabaikan dimensi yang jauh lebih penting diantara dimensi lainnya.
Pertama Aspek Historis, yang perlu diketahui mempertahankan kedudukan ibu kota negara di Jakarta tentu memiliki pelbagai alasan yang salah satunya Jakarta memiliki basis sejarah yang panjang. Jakarta merupakan tempat yang sangat bersejarah dalam berdirinya Republik ini, di Jakarta tempat dimana sumpah pemuda, pembacaan proklamasi kemerdekaan di ucapkan, Jakarta juga adalah pusat indoktrinisasi perjuangan para leluhur. Sehingga jika terjadi perpindahan ibu kota maka akan mereduksi dan mendelegitimasi sejarah panjang bangsa yang agung ini.
Kedua Aspek Pertahanan dan Keamanan, ibu kota tidak cukup hanya dengan persiapan konsep ataupun fisik semata, harus ditinjau secara holistik dan komprehensif termasuk aspek pertahanan dan keamanan. Aspek pertahanan dan keamanan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu negara untuk mempertahankan kedaulatan negara dan ancaman militer negara lain. Ditinjau dari Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kemudian dalam Pasal 3 ayat 2 dikatakan “pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Ketentuan mengenai letak geografis pertahanan negara ini tentu berkaitan dengan keuntungan militer yang selama ini ada di Jakarta yaitu strategic depth yang berarti konsep pertahanan yang melihat jarak pusat gravitasi suatu negara-dalam hal ibu kota-dari garis pertempuran. strategic depth adalah seberapa jauh jarak ibu kota dari perbatasan.
Sementara jika dilihat secara geografis Kalimantan Timur kita berbatasan langsung dengan Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam. Ini artinya jika kalimantan dijadikan sebagai Ibu Kota Negara dengan kedudukan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga maka sangat rentan mengancam keutuhan kedaulatan NKRI jika sewaktu-waktu terjadi gencatan militer. Tidak hanya itu, jika Ibu Kota dilumpuhkan, maka akan berdampak luas bagi seantero tanah air.
Posisi Ibu Kota di Jakarta tentu sangatlah strategis dari sisi pertahanan negara dari ancaman militer luar. Sebab secara geografis jika ada serangan dari utara, masi ada pasukan TNI di Kepulauan Riau, Kalimantan, dan Sulawesi yang bisa mencegatnya. Jika serangan datang dari Timur, masih ada Papua. Jika datang dari barat, masih ada Sumatra. Kalaupun serangan datang dari wilayah Australia lagi-lagi masih ada Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara. Artinya dari semua itu wilayah-wilayah yang ada tersebut menjadi benteng yang menjaga Ibu Kota Jakarta. berbeda halnya dengan posisi Kalimantan yang tidak memiliki benteng sehingga berhadapan langsung dengan potensi ancaman kedaulatan Negara. Ini harus diperhatikan, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengelolah republik yang besar ini.
Ketiga Aspek Lingkungan Hidup, jika kita lihat ide yang diusung pemerintah untuk ibu kota baru adalah smart dan green city tentu berbanding terbalik sebab pada faktanya ibu kota negara tentu akan melakukan pembangunan besar-besaran yang akan berdampak pada penggusuran lahan-lahan yang ada. Yang tentunya konsep kota yang hijau (Green City) tidak akan terjadi. Kalimantan yang dikenal sebagai paru-paru dunia akan hilang jika ibu kota di Kalimantan. Selain itu, berdasarkan data greenpeace lokasi ibu kota baru tidak bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun 2015 ada sebanyak 3487 titip api di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Keempat Aspek Ekonomi, sudah menjadi pengetahuan umum saat ini negara telah mengalami defisif ekonomi. Indonesia masih dilanda utang yang begitu besarnya. Berdasarkan Data bank Indonesia (BI) pada akhir Januari 2018 menunjukan utang luar negeri Indonesia meningkat 10,3 persen menjadi 357,5 milliar dollar AS atau sekitar 4.915 triliun (Kurs Rp. 13.750 per dollar AS). Namun angka yang dirilis BI oleh kajian Indef menungkapkan bisa lebih besar yakni hingga Rp. 7.000 triliun. Jumlah tersebut dari total penjumlahan utang pemerintah dan swasta (JAKARTA, KOMPAS.com). pun dilansir Jakarta, CNBC Indonesia, Kementrian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sebesar 6.687.28 Triliun. Artinya dalam hal pemindahan Ibu Kota Negara ini tentu akan membutuhkan biaya yang besar, oleh KOMPAS.com disebutkan proyek pembangunan ibu kota yang pernah diungkap presiden sebesar Rp. 501 Triliun. Tentu angka ini sangatlah fantastik, negara pada saat yang sama tengah dilanda masalah krisis ekomomi dan ancaman resesi. Di tambahan banyaknya biaya negara yang harus dikeluarkan untuk mengatasi pandemi Covid-19, pemerintah malah mencoba memindahkan Ibu Kota yang mengeluarkan anggaran yang begitu besarnya. Ditambah lagi, kita sebagai warga bangsa telah melihat secara nyata dan terang adanya inkonsistensi argumentasi presiden kita yang “DULU MENGATAKAN PEMBANGUNAN IBU KOTA TIDAK MENGGUNAKAN APBN” ternyata oh ternyata anggaran yang dipakai masi berasal dari APBN yakni sebesar 53,3 persen. Ini tentu menjadi preseden buruk, seorang presiden semestinya harus menjadi panutan dan teladan serta memiliki wibawa menjadi hilang. Entah, apakah ini juga dapat dikatakan HOAX atau bukan????
Selain berbagai dimensi yang penulis kemukakan di atas menarik pula untuk melihat beberapa ulasan ide dan alasan pemerintah dalam memindahkan Ibu Kota yang nampaknya menunjukan defisit pemikiran dari kekuasaan. Pertama alasan pemerataan pembangunan, sungguh tidaklah logis dijadikan dalil, sebab letak suatu ibu kota bukanlah menjadi penyebab terhambatnya pemerataan pembangunan. Mau dimanapun ibu kota berada tetaplah sama. Oleh karena itu, sesungguhnya yang menjadi problematika terhambatnya pemerataan pembangunan dari dahulu hingga sekarang adalah karna hampir disemua lini kekuasan melakukan perbuatan corrupt dan KKN. Maka seharusnya kekuasaan yang corrupt dan KKN ini yang harus diselesaikan oleh pemerintah bukan malah pindah Ibu Kota.
Kedua mengubah mindset pembangunan dari jawa sentries menjadi Indonesia sentries. Sesungguhnya ini pikiran yang sudah kuno jika dijadikan dalil oleh pemerintah. Sebab, memang dulu di Era Orde Baru terjadi sentralistis kekuasaan yang terpusat. Tetapi itu semua telah dijawab melalui semangat reformasi maka lahirlah ide dan gagasan hebat yakni sistem desentralisasi yang diimplementasikan dalam bentuk Otonomi Daerah yang payungi oleh Pasal 18 Ayat 1-7 UUD 1945 yang dengannya memberikan ruang gerak kepada daerah-daerah untuk mandiri mengurus daerahnya masing-masing. Tetapi jika hingga hari ini kita melihat pembangunan belum memadai tentu bukan dalih mindset pembangunan dari jawa sentries menjadi Indonesia sentries yang dijadikan alasan untuk melegitimasi perpindahan ibu kota, melainkan itu masih sama karena adanya virus yang sampai saat ini masih mendarah daging di seluruh akar rumput kekuasaan negara yakni kekuasaan yang corrupt. Hal ini sebenarnya yang menjadi akar masalah bangsa, bukan malah pindah ibu kota.
Berikutnya Alasan Mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek, alasan ini menurut penulis sangatlah lucu, sebab mengapa jika ibu kota pindah hanya karna Jakarta terlalu terbeban dengan misalnya kepadatan penduduk dan semacamnya, tentu ini menunjukan pemerintah ingin melarikan diri dari tugas dan tanggung jawabnya. Pemerintah seakan-akan mengalami degradasi dan defisit pemikiran untuk menjawab masalah yang dihadapi. Sehingga jika dikaitkan dengan pembangunan Ibu Kota ke Kalimantan maka sudah barang tentu nantinya di beberapa puluh tahun yang akan datang Kalimantan dengan status sebagai Ibu Kota pastinya akan mengalami mobilisasi dan kepadatan penduduk yang sama seperti Jakarta pula. Maka sudah barang tentu jika menggunakan logika kekuasaan hari ini Ibu Kota dari Kalimantan pasti harus pindah lagi jika mengalami kepadatan dll. Keadaann itu akan terjadi seterusnya. Maka semestinya pemerintah harus mencari jalan keluar untuk Jakarta bukan malah pindah ibu kota.
Kemudian alasan memiliki Ibu Kota yang merepresentasikan identitas bangsa, kebhinekaan dan penghayatan terhadap pancasila tidaklah logis dan relevan, cenderung mengada-ngada. Sebab bicara merepresentasikan identitas bangsa, Jakarta adalah Ibu Kota yang di dalamnya semua elemen warga negara dari sabang sampai merauke bahkan mancanegara semuanya ada disini. Berdasarkan Data tahun 2000 keberagaman di Jakarta tergambarkan sebagai berikut : Orang Jawa (35,16 %), Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Melayu (1,62%), Batak (0,59%), Minangkabau (3,18%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (1,62%) Banjar (0,1%). Bayangkan itu adalah data tahun 2000 bagaimana dengan sekarang tentu semakin beragam dan multicultural. Selanjutnya juga, jika disebut Penghayatan terhadap pancasila secara historis Jakarta adalah pusat indroktrinisasi segala peham kenegaraan dan kebangsaan di Tanah Air.
Terakhir, di tengah pro kontra yang terjadi pada publik UU IKN telah diundangkan. Ada hal yang sangat aneh dalam penggodokannya yakni UU IKN ini terhitung hanya dalam tempo 42 hari sudah disahkan. Sangatlah singkat dan terkesan tergesa-gesa serta cenderung dipaksakan. Pembuatan regulasi yang sangat cepat ini harus diperhatikan jangan sampai terjadi lagi seperti pembuatan UU Omnibus Law yang dengan tempo waktu singkat diundangkan dan setelahnya dinyatakan inkonstitusional. Lebih jauh lagi, kalau kita lihat secara meluas di Indonesia sendiri dari sisi regulasi misalnya pembahasan tentang RKUHP Nasional yang dimulai dari tahun 1964 hingga saat ini yang sudah begitu lamanya belum juga disahkan dan diundangkan. Tetapi UU IKN dan UU Omnibus Law, hanya dalam waktu yang singkat langsung disahkan. Ini jelas regulasi yang dibuat cepat semacam ini dapat disinyalir sebagai regulasi hasil pesanan kelompok kepentingan tertentu yakni Oligarki.
Penulis: La Ode Nofal (Sekertaris Umum Jaringan Pemerhati Hukum Indonesia).
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.