Tangerangupdate.com (14/08/2020) | Tangerang — Para seniman yang mengkritik pemerintah melalui mural yang biasa menghiasi tembok di sudut-sudut jalan, disikapi berbeda oleh aparat.
Dari tiga mural yang menyita perhatian, dua diantaranya berada di wilayah Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Namun kini mural tersebut sudah dihapus oleh aparat, karena dianggap meresahkan.
Tentu masih ingat tulisan Kalimat ‘Tuhan Aku Lapar’ terpampang di sebuah dinding di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang pada akhir Juli 2021. Mural tersebut viral dan menjadi bahan perbincangan di sosial media.
Terbaru adalah mural dikolong jembatan yang berada wilayah Batuceper, Kota Tangerang. Mural bergambar wajah yang mirip dengan Jokowi pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah.
Menurut warga setempat mural tersebut sudah ada sejak 2020. Namun baru belakangan ini menjadi pemberitaan diberbagai media nasional, menyedot berbagai tanggapan dari masyarakat. Aparat kini mencari orang yang menggambar mural tersebut.
Terakhir adalah Mural ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’ yang ada di Kabupaten Pasuruan,
tulisan dengan dua karakter yang tergambar di dinding rumah warga yang sudah tidak lagi ditinggali, serupa dengan mural yang ada di Tangerang, aparat juga menghapus karena dianggap melanggar peraturan daerah dan dinilai provokatif.
Menurut Dosen Hukum Pasca Sarjana Universitas Pamulang Dr. Suhendar, mengatakan bahwa, munculnya berbagai mural yang dianggap megkritik pemerintah, sebagai bentuk ekpresi ditengah kondisi yang sulit ditambah dengan semakin minimnya empati para pejabat.
“Akibat tidak ada ruang untuk berekspresi untuk mengkritik, ruang-ruang untuk bersuara pun dibatasi, ditambah ancaman pidana untuk yang mengkritik pemerintah” ucapnya
Ditambahkannya bahwa fungsi mural sekarang ini tidak hanya terhenti sebatas ekspresi estetika, namun lebih luas seperti pesan dan kritik sosial sebagai suatu perlawanan yang muncul dalam masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.
“Pemerintah harus juga mau dikritik, entah apapun itu medianya. Jika kritik dimaknai ancaman atau penghinaan, apakah kita harus mengulang sejarah kelam order baru” tutupnya.