Tangerangupdate.com – Dahulu kala, di sebuah kerajaan bernama Purwanegara, hiduplah seorang raja berwibawa, namun lidahnya sering mendahului pikirannya. Suatu hari, karena panen gagal dan rakyat resah, ia menuding utusan negeri tetangga sebagai pembawa “angin jahat.”
Tuduhan itu tak berdasar. Ternyata, persoalannya adalah bendungan rusak yang diabaikan sejak generasi sebelumnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Perang pun pecah. Dari tragedi itu lahir pepatah di Purwanegara: “Sekali lidah penguasa tergelincir, ribuan nyawa bisa tergilas.”
Cerita rakyat ini teringat kembali ketika Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada upacara Hari Lahir Pancasila 1 Juni kemarin, menyatakan:
“Ratusan tahun mereka [bangsa asing] adu domba kita sampai sekarang, dengan uang, mereka membiayai LSM-LSM untuk mengadu domba kita.”
Pernyataan itu mengejutkan, karena disampaikan pada momentum resmi kenegaraan yang seharusnya memperkuat persatuan, bukan menebar kecurigaan. Sebagai kepala negara, setiap ucapan Presiden adalah representasi kebijakan politik dan moral negara.
Maka, tudingan tanpa dasar terhadap LSM atas campur tangan asing bukan saja tidak bijak, tapi juga membahayakan ruang demokrasi.
Antara Kewaspadaan dan Ketakutan
Tentu saja, kehati-hatian terhadap intervensi asing adalah hal wajar. Sejarah kolonialisme Indonesia memang sarat dengan praktik divide et impera politik adu domba yang melukai bangsa ini selama berabad-abad. Namun, kehati-hatian semacam ini harus tetap berpijak pada data, bukan sekadar narasi tanpa bukti.
Apa yang disampaikan Presiden berpotensi menciptakan tiga masalah serius dalam tata negara kita:
Pertama, menyamaratakan seluruh LSM sebagai alat asing adalah bentuk generalisasi yang berbahaya. Banyak LSM di Indonesia justru lahir dari kebutuhan rakyat untuk memperjuangkan hak-hak dasar, buruh, petani, perempuan, nelayan, hingga korban pelanggaran HAM. Tanpa kehadiran mereka, banyak suara rakyat kecil akan tenggelam dalam arus kekuasaan.
Kedua, membangun narasi musuh eksternal bisa menjadi cara mudah untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan struktural di dalam negeri, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, dan kegagalan kebijakan publik. Retorika semacam ini hanya menciptakan fatamorgana politik, bukan solusi.
Ketiga, pernyataan seperti ini bisa dijadikan dalih untuk membatasi kebebasan sipil dan membungkam kritik. Jika narasi ini terus diulang, kita akan melihat menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil dan makin menguatnya otoritarianisme yang dibungkus dengan jargon nasionalisme.
Kritik Adalah Oksigen Demokrasi
Kita harus ingat, dalam negara demokrasi, kritik bukan bentuk adu domba. Kritik adalah ekspresi cinta warga kepada negaranya. LSM bukanlah musuh negara mereka adalah mitra kritis yang mengingatkan jika negara mulai lupa pada tugasnya.
Alih-alih menyudutkan, negara semestinya membuka ruang dialog, transparansi dana asing jika itu memang relevan, dan memperkuat ketahanan sipil lewat pemberdayaan, bukan pemberangusan.
Jika Presiden hendak bicara soal pengaruh asing, lakukanlah dengan basis data, kajian kebijakan, dan strategi kebangsaan yang konkret bukan dengan tudingan terbuka yang bisa menjadi fitnah kolektif.
Saat Raja Bicara Tanpa Menyaring Lidah
Kisah raja Purwanegara bukan sekadar dongeng. Ia adalah cermin. Hari ini, kita tidak hidup dalam kerajaan. Kita hidup di republik yang berlandaskan hukum dan akal sehat. Maka seorang Presiden tidak bisa bicara sesuka hati, apalagi dalam forum resmi kenegaraan. Ketika lidah pemimpin tergelincir, bukan hanya reputasinya yang runtuh, tapi juga kepercayaan rakyat pada demokrasi.
Presiden boleh keras terhadap ancaman asing, tapi jangan kabur terhadap kenyataan dalam negeri. Negara ini tidak akan runtuh karena kritik. Ia justru bisa hancur bila pemimpinnya terus mengulang kesalahan dongeng lama, menuduh tanpa bukti, mencurigai rakyatnya sendiri, dan menyalahkan luar demi menutupi lumpur di dalam.
Oleh : Jupri Nugroho (Mantan Koordinator TRUTH)
Disclaimer: Artikel ini merupakan produk meja redaksi Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya merupakan sebuah opini dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada siapapun.