Tangerangupdate.com | Komite Sekolah seharusnya menjadi jembatan antara sekolah dan wali murid dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit komite sekolah yang justru lebih berpihak kepada kebijakan sekolah dibandingkan memperjuangkan kepentingan orang tua siswa.
Tak hanya itu, peran koordinator kelas, yang tidak memiliki dasar hukum, sering kali digunakan untuk mengoordinasikan pungutan dan kebijakan yang merugikan wali murid. Praktik ini tidak hanya mencederai kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan, tetapi juga bisa berujung pada ancaman pidana, khususnya terkait pungutan liar (pungli).
Komite Sekolah: Bukan Alat Legitimasi Pungutan Sekolah
Komite Sekolah idealnya berfungsi sebagai pengawas, pemberi pertimbangan, dan pendukung transparansi kebijakan sekolah. Namun, dalam praktiknya, banyak komite yang justru menjadi alat legitimasi kebijakan sekolah, terutama dalam hal pungutan atau sumbangan sukarela yang dalam kenyataannya sering kali bersifat wajib dan mengikat.
Banyak wali murid mengeluhkan adanya tekanan untuk membayar “sumbangan” yang seolah tidak dapat ditolak. Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan wajib. Jika tetap dilakukan, praktik ini bisa masuk dalam kategori pungutan liar (pungli), yang memiliki konsekuensi hukum serius.
Koordinator Kelas: Perpanjangan Tangan yang Tidak Resmi dan Berisiko Pidana
Dalam banyak sekolah, peran koordinator kelas juga sering digunakan untuk mengumpulkan dana dari wali murid. Tugas yang sering diberikan kepada koordinator kelas meliputi:
- Mengumpulkan iuran atau sumbangan dari wali murid atas nama komite atau sekolah.
- Menyampaikan informasi dari sekolah atau komite kepada wali murid.
- Membantu dalam pengorganisasian acara kelas atau sekolah yang memerlukan dana dari orang tua.
Masalah utama adalah tidak ada regulasi resmi yang mengatur peran ini, tetapi dalam praktiknya mereka sering kali menjadi alat untuk mempermudah pungutan sekolah. Koordinator kelas yang terlibat dalam pungutan yang bersifat wajib atau memaksa bisa dianggap sebagai bagian dari praktik pungli, yang berisiko pidana.
Ancaman Pidana bagi Pelaku Pungli di Sekolah
Pungutan liar dalam lingkungan pendidikan bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga merupakan tindak pidana yang bisa dijerat dengan hukum. Berikut beberapa dasar hukum yang bisa digunakan untuk menjerat oknum komite sekolah atau koordinator kelas yang melakukan pungli:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 e: Pejabat publik atau mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan publik dilarang melakukan pungutan liar. Ancaman hukuman: Pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana. Ancaman hukuman: Pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
- Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan. Jika pungutan dilakukan dengan paksaan atau intimidasi kepada wali murid, bisa dikategorikan sebagai pemerasan.Ancaman hukuman: Pidana penjara hingga 9 tahun.
- Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Pemerintah secara tegas melarang segala bentuk pungutan liar, termasuk di dunia pendidikan. Sanksi dapat berupa pidana, pemberhentian dari jabatan, atau denda administratif.
Komite Sekolah dan Koordinator Kelas Harus Diawasi Ketat
Keberadaan Komite Sekolah seharusnya menjadi alat kontrol terhadap kebijakan sekolah, bukan sekadar alat untuk menekan wali murid dalam membayar pungutan yang tidak sah. Begitu pula dengan peran koordinator kelas, jika tetap digunakan, maka harus ada regulasi yang jelas dan transparan agar tidak menjadi alat pungli berkedok sumbangan.
Jika praktik pungli masih terjadi, wali murid berhak melaporkannya ke pihak berwenang, termasuk ke Satuan Tugas Saber Pungli, Ombudsman RI, atau kepolisian. Dengan adanya regulasi dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan praktik pungutan liar di sekolah bisa dihentikan, dan pendidikan bisa berjalan dengan lebih transparan serta adil bagi semua siswa dan orang tua.
Oleh : Jupri Nugroho {RIGHTS)
Disclaimer: artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.