Tangerangupdate.com (06/11/2021) | Opini —Kecelakaan lalu lintas lazimnya merupakan suatu peristiwa yang tidak pernah diduga dan diharapkan. Hal ini dikarenakan bahwa pelaku maupun korban sama-sama merupakan pihak yang dirugikan, baik terhadap barang (kendaraan atau barang lainnya) atau kerugian fisik, bahkan sampai kepada hilangnya nyawa. Dengan demikian sudah seharusnya seseorang yang berlalu lintas—khususnya pengemudi kendaraan bermotor—untuk meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian agar hal yang tidak diinginkan dapat dihindari.
Beberapa waktu lalu, terjadi kecelakaan tunggal yang menyebabkan meninggalnya seorang selebriti dan suaminya di jalan tol Nganjuk, Jawa Timur. Berdasarkan olah TKP kepolisian, kecelakaan maut itu terjadi disebabkan karena supir mengendarai mobil dengan kecepatan yang tinggi dan tidak ada bekas pengereman pada mobil. Disamping itu pada keterangan yang lain, supir juga mengaku mengantuk saat mengemudi.
Kondisi supir dan kendaraan yang sedemikian berdasarkan hasil olah TKP kepolisian ini menimbulkan bermacam-macam asumsi. Diantaranya; supir tidak berusaha seoptimal mungkin menghindari kecelakaan tersebut dengan menginjak pedal rem mobil, supir tidak menurunkan kecepatannya dan menepi walaupun ia dalam kondisi mengantuk, kondisi mengantuknya sudah sedemikian sampai ia kehilangan kesadaran saat sedang mengendarai mobil sehingga tidak ada lagi upaya preventif untuk menghindari kecelakaan maut tersebut.
Asumsi-asumsi itu memang tidak dapat dipastikan sebelum pihak kepolisian mengadakan investigasi lebih lanjut atas peristiwa hukum tersebut. Sehingga sampai saat ini hanya ada hipotesa berdasarkan sederet asumsi tersebut bahwa supir pada peristiwa ini diduga telah melakukan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Perlu diketahui bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat terkualifisir sebagai kecelakaan lalu lintas berat dan peristiwa tersebut merupakan peristiwa hukum yang mempunyai konsekwensi hukum pidana yang diatur di dalam ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas). Adapun kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain merupakan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut. Hal mana diatur di dalam Pasal 310 ayat (4) UU Lalu Lintas yang secara eksplisit menentukan bahwa orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Dari ketentuan tersebut, seorang pengemudi kendaraan bermotor dapat dipidana dengan dua syarat, yaitu saat mengemudi ia telah melakukan kelalaian, dan karena kelalaiannya itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Untuk itu perlu memahami tentang apa itu kelalaian sebelum menerapkan Pasal 310 ayat (4) UU Lalu Lintas terhadap pengendara kendaraan bermotor yang lalainya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Dalam doktrin hukum pidana, kelalaian merupakan satu bentuk kesalahan disamping kesengajaan. Dengan kata lain, bentuk kesalahan itu ada dua, yaitu kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus). Kesalahan dan bentuk kesalahan itu merupakan suatu kewajiban yang harus ada agar seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi pidana sesuai dengan ancaman pidana yang diatur undang-undang. Hal ini merupakan perwujudan dari asas yang populer di dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder sculd). Seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika perbuatan yang bersangkutan tidak terdapat kesalahan dan adanya salah satu bentuk kesalahan, baik itu kelalaian (culpa) atau kesengajaan (dolus).
Mengenai definisi dan rumusan konsep terkait kelalaian sangat beragam. Masing-masing ahli hukum pidana memiliki difinisi dan rumusan konsepnya sendiri. Seperti Van Hamel (Andi Hamzah, 2012) yang membagi kelalaian (culpa) menjadi dua jenis, yaitu “kurang melihat ke depan yang perlu dan kurang hati-hati yang perlu”. Dalam hal ini pelaku dikatakan lalai jika dalam melakukan perbuatannya ia tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Dan yang kedua Van Hamel memberikan analogi: misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada).
Menurut Vos (Andi Hamzah, 2012) kelalaian (culpa) itu terjadi jika memenuhi dua unsur (element), pelaku melihat ke depan yang akan terjadi, dan adanya ketidakhati-hatian. Dari rumusan Vos, perbuatan dinyatakan sebagai kelalaian (culpa) jika pelaku dapat membayangkan atau memprediksi atau menduga-duga apa yang akan terjadi ke depan dan ia dapat melakukan perbuatan yang lain (yang lebih aman) tetapi tidak dilakukan.
Dari definisi kelalaian (culpa) tersebut, dapat ditarik benang merahnya bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai lalai jika ia tidak menduga-duga atau memprediksi menurut akal yang sehat akibat apa yang timbul dari perbuatannya. Dan ia mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk berbuat lain tetapi tidak ia lakukan.
Jika dikaitkan dengan pengemudi yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan kecepatan yang tinggi—terlebih dalam kondisi mengantuk—maka sudah seharusnya ia dapat membayangkan atau memprediksikan apa yang akan terjadi jika ia tidak mengurangi kecepatannya. Ia seharusnya dapat berhati-hati dengan melakukan perbuatan yang lain, misalnya mencari tempat beristirahat jika ia mengantuk, atau bergantian dengan pengemudi yang lain.
Namun, jika ia tetap meneruskan perbuatannya, padahal ia dengan bebas dapat berbuat lain sebagai langkah kehati-hatian dan dia mengabaikan dugaan atau prediksi akibat dari mengemudi dalam kondisi mengantuk dengan kecepatan tinggi, maka perbuatan tersebut dapat digolongkan perbuatan lalai. Terlebih akibat yang ditimbulkan berupa hilangnya nyawa orang lain, maka perbuatan itu digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata) yang dapat dijerat dengan Pasal 310 ayat (4) UU Lalu Lintas.
Oleh : Fariz Rifqi Hasbi, S.H., M.H.(Dosen FH Universitas Pamulang/Wakil Ketua LPBH NU DKI Jakarta)