Tangerangupdate.com – Selama tiga setengah abad, bangsa kita terbelenggu oleh masa kelam kolonialisme. Penjajahan, perbudakan, kerja paksa, kelaparan, dan penderitaan selalu membayangi ingatan kita tentang masa-masa itu. Namun, penjajah tidak selalu datang dengan cara kekerasan. Mereka memulai dengan berdagang, membawa budaya, membangun pengaruh, hingga akhirnya memperluas kekuasaan.
Mereka membangun sistem sosial, politik, dan hukum untuk mengikat masyarakat agar tunduk pada aturan mereka. Seiring waktu, sifat manusia yang tak pernah puas membuat penjajah merasa superior dan berhak berkuasa. Sikap semena-mena dan perlakuan tidak adil ini pada akhirnya membangkitkan kesadaran masyarakat pribumi, karena naluri manusia yang tersakiti pasti akan melawan.
Perlawanan yang terorganisir, didasari rasa penderitaan yang sama, membentuk kesadaran kebangsaan yang menuntut hak untuk merdeka. Itulah cara sebuah negara terbentuk: dari kesadaran akan penderitaan bersama, didukung pengakuan negara lain, serta wilayah yang berdaulat.
Para pendiri bangsa telah mengamanatkan kepada generasi kita untuk melanjutkan cita-cita negara sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Namun, setelah 80 tahun merdeka, sudahkah amanat dan cita-cita itu tercapai? Atau, hanya sebatas kata tanpa makna mendalam?
Kemerdekaan, yang setiap tahun kita rayakan pada 17 Agustus, sering dipahami sebagai kehormatan dan kebanggaan. Merdeka adalah harga mati. Merdeka adalah bebas. Merdeka adalah ketika rakyat bisa hidup sejahtera, adil, dan makmur. Secara filosofis, merdeka berarti kebebasan dari belenggu fisik dan batin, serta kemampuan untuk bertindak mandiri dan bertanggung jawab.
Namun, makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu bebas dari belenggu perasaan dan pikiran, belum mampu dicapai oleh banyak orang. Kemerdekaan ini tertutup oleh keinginan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok. Tanpa disadari, banyak orang rela kehilangan kemerdekaan mereka, diperbudak dan dibutakan oleh keserakahan
.
Peringatan hari kemerdekaan seakan hanya menjadi rutinitas tahunan. Setelah upacara selesai, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: kemerdekaan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Rakyat hanya menjadi penonton kebengisan dan keserakahan para pejabat.
Kegagalan Para Pemimpin Republik yang Selalu Terulang
Jerat sistem kapitalisme dan kebijakan liberalisasi yang salah arah membutakan hasrat kemanusiaan. Hal ini selalu berujung pada kegagalan sistem, yang ditandai dengan korupsi, ketimpangan, dan kemiskinan. Sejarah mencatat kegagalan para pemimpin Republik, dari era pra-kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi saat ini.
Setelah kemerdekaan, Republik Indonesia mengalami kegagapan ideologi dan inkonsistensi sistem. Negara yang seharusnya berlandaskan kedaulatan rakyat justru berubah menjadi negara diktator.
Kebijakan mengangkat presiden seumur hidup melalui dekret berdampak buruk pada politik, bahkan berujung pada pemenjaraan para pendiri republik yang berseberangan dengan presiden. Padahal, saat itu Indonesia masih sangat membutuhkan pemikiran para tokoh tersebut untuk kemajuan sumber daya dan ekonomi.
Ir. Soekarno, yang diagungkan sebagai Bapak Pimpinan Besar Revolusi, gagal menyejahterakan rakyat karena kebijakan otoriter yang serampangan. Perilaku yang hanya mementingkan kelompoknya menyebabkan krisis ekonomi dan ketidakpuasan di berbagai daerah, yang berujung pada pemberontakan.
Ketidakstabilan politik luar negeri dan puncaknya, pembunuhan massal pasca-Gerakan Satu Oktober 1965, membuat wibawa Soekarno jatuh. Gerakan mahasiswa, pelajar, dan seluruh rakyat menuntut perubahan, yang akhirnya menutup masa Orde Lama.
Kemudian, datanglah era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang dijuluki Bapak Pembangunan. Stabilitas politik, ekonomi, dan pembangunan sumber daya manusia diupayakan. Pancasila dijadikan doktrin mutlak, menyingkirkan ideologi Marxisme dan komunisme.
Pertanyaannya, apakah Pancasila saat itu benar-benar menjadi ideologi pemersatu, atau hanya alat untuk melanggengkan kekuasaan?
Sistem politik dan hukum pun terdampak. Sistem multi-partai disederhanakan, dan pemilihan umum ditiadakan. Presiden dan wakil presiden dipilih melalui sidang Permusyawaratan Rakyat, menjadi sebab utama kekuasaan Soeharto bertahan selama 32 tahun.
Kebijakan swasembada pangan yang berkiblat pada ekonomi liberal dan perdagangan bebas membutuhkan modal besar. Indonesia pun terlibat dalam utang dengan Bank Dunia (IMF). Di masa inilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) marak terjadi. Perilaku koruptif keluarga dan orang terdekat presiden membangkitkan perlawanan rakyat.
Gejolak krisis sosial dan kepercayaan memicu tindakan kriminal dan gerakan separatisme. Protes rakyat selalu dihadapi dengan moncong senjata. Pemberangusan media, penahanan tokoh politik, dan penghilangan paksa membuat rakyat geram. Puncaknya adalah krisis 1998, di mana gelombang reformasi masif menuntut perubahan. Rakyat menyambut gembira akhir dari 32 tahun masa pemerintahan gelap Soeharto.
Reformasi atau Revolusi?
Perubahan yang diharapkan mampu menghasilkan pemerintah yang bersih dari korupsi ternyata gagal. Tenaga Reformasi tidak cukup untuk mengubah sistem. Budaya KKN bermutasi menjadi wujud yang lebih beringas, kejam, dan gelap. Mutasi genetik Orde Baru menjadi Neo-Orba masih menjadi penghalang, bak sel kanker yang sudah merajai tubuh. Jika dahulu korupsi hanya dilakukan di pusat, kini telah merajalela hingga ke tingkat desa.
Pemerintahan pasca-Reformasi—dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi, hingga Prabowo saat ini—masih terus bergelut dengan kasus korupsi. Keadaan ini bahkan dinilai oleh beberapa peneliti menuju kebangkrutan negara.
Julukan “Konoha” untuk Indonesia ironisnya disandingkan dengan angka kemiskinan yang terpuruk, peringkat sebagai negara paling korup, dan utang terbesar. Apakah tenaga Reformasi memang belum cukup untuk menuju Republik yang lebih baik?
Jolly Roger sebagai Simbol Perubahan Mendasar (Revolusi)
Jolly Roger atau Bendera One Piece adalah simbol dari rakyat yang menyadari bahwa Republik ini sedang tidak baik-baik saja: gelap, rusak, dan tanpa harapan. Mereka bukanlah bajak laut yang ingin memberontak, dan rakyat juga bukan provokator. Jolly Roger adalah simbol harapan yang terus dirusak oleh mental busuk penguasa yang korup. Jolly Roger adalah alarm bagi Republik untuk segera melakukan perbaikan atau perubahan mendasar (revolusi).
Setelah Reformasi, kita berharap Republik bisa membawa masyarakat ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Namun, Reformasi telah gagal. Kita membutuhkan Revolusi. Revolusi adalah pengorbanan generasi kita demi kemajuan generasi mendatang. Jalan Revolusi harus ditempa dengan darah, dan darah itu adalah pengorbanan.
Jika negara tidak berpihak pada perbaikan, keadilan akan menemukan jalannya sendiri. Rasa penderitaan dan senasib sepenanggungan yang sama akan memunculkan ide kebangsaan, yaitu kesadaran untuk berpisah dan mendirikan negara sendiri. Itulah mengapa Aceh, Maluku, dan Papua memiliki alasan untuk merdeka. Mereka bukanlah kelompok separatis atau pemberontak, melainkan rakyat yang merindukan perubahan demi masa depan yang lebih baik.
Penulis berharap para pemimpin Republik, tokoh politik, dan pejabat dapat belajar dari Revolusi Prancis, Revolusi Xinhai (Tiongkok), serta alasan di balik munculnya konflik Gerakan Aceh Merdeka dan Papua Merdeka.
Jika simbol ini tidak dianggap sebagai alarm oleh para pemimpin Indonesia dan mereka terus bersikap seolah semuanya baik-baik saja, bahkan menuduh rakyat sebagai provokator, maka penjajah yang sebenarnya adalah para pemimpin dan pejabat negeri ini.
Kita berhak untuk melawan!
Penulis: Septian Haditama, Peneliti Research, Public Policy And Human Rights (RIGHTS)
Disclaimer: artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.