Tangerangupdate.com – Preeklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang masih menjadi perhatian besar di dunia kesehatan ibu. Kondisi ini biasanya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu atau kadang segera setelah persalinan.
Ciri utamanya adalah tekanan darah tinggi (≥140/90 mmHg), adanya protein dalam urine (proteinuria), dan kadang disertai pembengkakan pada wajah, tangan, atau tungkai. Meskipun pada awalnya tampak ringan, preeklampsia dapat berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa ibu dan janin jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan cepat (Sarwono, 2010; Prawirohardjo, 2010).
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa preeklampsia menjadi penyebab signifikan kematian ibu di berbagai negara, terutama di wilayah berkembang. Setiap tahun, ribuan ibu di dunia meninggal akibat komplikasi ini. Di Indonesia, preeklampsia termasuk dalam tiga besar penyebab kematian ibu, bersama dengan perdarahan dan infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya isu medis, tetapi juga menyangkut keselamatan generasi penerus bangsa.
Mengapa Preeklampsia Terjadi?
Penyebab pasti preeklampsia belum sepenuhnya dipahami, tetapi para ahli telah mengidentifikasi sejumlah faktor risiko yang berperan. Ibu hamil yang menjalani kehamilan pertama (primigravida) memiliki risiko lebih besar, terutama jika belum terbentuk kekebalan tubuh terhadap faktor kehamilan sebelumnya. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya atau pada keluarga dekat juga meningkatkan peluang terjadinya kondisi ini.
Selain itu, ibu yang mengandung bayi kembar atau lebih, menderita hipertensi kronis, diabetes melitus, penyakit ginjal, atau penyakit autoimun seperti lupus, berada dalam kelompok risiko tinggi. Usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun) juga menjadi pemicu. Faktor lain yang tak kalah penting adalah obesitas atau peningkatan berat badan yang berlebihan selama kehamilan, serta kondisi rahim yang terlalu meregang akibat hidramnion atau kehamilan ganda (Hanifah, 2014).
Bagaimana Gejala Awalnya?
Preeklampsia ringan sering kali tidak menimbulkan keluhan yang dramatis, sehingga ibu hamil mungkin tidak menyadari kondisinya. Gejala yang dapat ditemukan meliputi tekanan darah tinggi yang terukur minimal dua kali pada pemeriksaan terpisah, penambahan berat badan berlebihan (≥1 kg per minggu), pembengkakan di kaki, wajah, atau tangan, serta proteinuria pada pemeriksaan urine.
Pada tahap awal, keluhan bisa berupa sakit kepala ringan, rasa tidak nyaman, atau kelelahan. Namun, belum muncul gangguan penglihatan berat atau nyeri ulu hati. Justru karena gejalanya bisa samar, pemeriksaan rutin menjadi sangat penting. Tanpa deteksi dini, preeklampsia ringan dapat berkembang menjadi preeklampsia berat dengan gejala seperti sakit kepala hebat, pandangan kabur, nyeri ulu hati, mual muntah, hingga kejang (eklampsia) (Manuaba, 2011).
Dampak yang Mengintai
Jika tidak tertangani, preeklampsia dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius. Bagi ibu, risiko yang mengintai antara lain eklampsia (kejang yang berpotensi fatal), perdarahan otak, gagal ginjal, sindrom HELLP (gangguan hati dan pembekuan darah), edema paru, nekrosis hati, dan solusio plasenta (lepasnya plasenta sebelum waktunya).
Bagi janin, preeklampsia dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat di dalam rahim (Intrauterine Growth Restriction/IUGR), berat lahir rendah, kelahiran prematur, asfiksia saat lahir, bahkan kematian janin. Hal ini terjadi karena suplai oksigen dan nutrisi dari plasenta ke janin berkurang akibat penyempitan pembuluh darah (Rukiyah, 2010).
Bagaimana Penanganannya?
Pendekatan penanganan preeklampsia bergantung pada tingkat keparahan dan usia kehamilan. Pada kasus preeklampsia ringan, perawatan bisa dilakukan secara rawat jalan dengan pemantauan ketat. Ibu hamil perlu menjalani pemeriksaan antenatal setiap minggu, termasuk pengecekan tekanan darah, berat badan, dan pemeriksaan urine.
Jika kondisi tidak membaik atau malah memburuk setelah dua minggu rawat jalan, pasien harus dirawat inap. Pada kehamilan kurang dari 37 minggu, tujuan utama adalah mempertahankan kehamilan hingga cukup bulan selama kondisi ibu dan janin stabil. Pada usia kehamilan 37 minggu atau lebih, persalinan biasanya direkomendasikan. Jika serviks sudah matang, induksi persalinan dapat dilakukan. Namun, bila serviks belum matang, dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu atau operasi sesar sesuai indikasi (Hidayat et al., 2016).
Selain penanganan medis, peran keluarga sangat penting dalam memberikan dukungan emosional dan memastikan ibu hamil mematuhi jadwal pemeriksaan. Lingkungan yang nyaman dan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan tingkat stres, yang juga berkontribusi terhadap kestabilan tekanan darah.
Bisakah Dicegah?
Mencegah preeklampsia sepenuhnya memang belum mungkin, namun risiko dan dampaknya dapat ditekan melalui deteksi dini dan pengelolaan faktor risiko. Kunci utama pencegahan adalah pemeriksaan kehamilan rutin (antenatal care).
Ibu hamil dianjurkan untuk menjalani pola makan seimbang dengan asupan protein yang cukup, membatasi lemak jenuh, dan mengonsumsi vitamin sesuai rekomendasi tenaga kesehatan. Pembatasan garam juga penting jika terjadi pembengkakan. Istirahat yang cukup dan menghindari aktivitas fisik berat juga dianjurkan.
Edukasi mengenai tanda bahaya kehamilan menjadi langkah krusial. Ibu hamil dan keluarga harus mengetahui gejala seperti sakit kepala hebat, pandangan kabur, pembengkakan wajah atau tangan, serta gerakan janin yang berkurang. Dengan pengetahuan ini, ibu dapat segera mencari pertolongan medis sebelum kondisi memburuk (Manuaba, 2010).
Kesadaran adalah Kunci
Preeklampsia sering kali disebut sebagai “silent killer” karena dapat berkembang tanpa gejala yang jelas pada awalnya. Banyak kasus yang baru terdeteksi saat sudah memasuki tahap berat. Oleh karena itu, kesadaran ibu hamil untuk rutin memeriksakan diri, mematuhi anjuran medis, dan menjaga kesehatan sangat menentukan.
Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat perlu bersinergi dalam mengedukasi ibu hamil dan keluarganya. Dengan deteksi dini, penanganan tepat, dan dukungan keluarga, risiko kematian ibu dan janin akibat preeklampsia dapat ditekan secara signifikan. Preeklampsia bukanlah takdir yang tak bisa diubah; dengan langkah yang tepat, kita dapat melindungi dua nyawa sekaligus ibu dan bayinya.
Penulis: Siti Nurahayu, Mahasiswa Fakultas kesehatan Universitas Nasional
Disclaimer: artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.