Tangerangupdate.com | Dalam dunia pecinta alam, Diklatsar singkatan dari Pendidikan dan Latihan Dasar selama puluhan tahun menjadi pintu masuk bagi siapa pun yang ingin bergabung secara resmi dalam sebuah organisasi. Di sanalah para calon anggota digembleng, tidak hanya secara fisik dan teknis, tetapi juga secara mental dan nilai-nilai dasar kepencintaalaman. Namun, di tengah cepatnya transformasi sosial dan budaya digital, muncul pertanyaan yang cukup krusial: apakah Diklatsar masih relevan?
Kritik terhadap relevansi Diklatsar bukan sekadar keluhan generasi muda yang tidak tahan proses berat. Ada sejumlah dinamika sosial yang ikut memengaruhi. Akses terhadap pengetahuan kini sangat terbuka. Materi-materi yang dulu hanya bisa diperoleh dalam pelatihan kini tersedia luas di internet. Siapa pun bisa mempelajari teknik navigasi, survival, hingga pertolongan pertama hanya dengan membuka video tutorial atau membaca artikel daring.
Perubahan cara belajar ini diikuti oleh pergeseran orientasi dalam aktivitas luar ruang. Pendakian, misalnya, tidak lagi sekadar arena kontemplatif atau ruang pembentukan karakter. Bagi sebagian kalangan, ia kini lebih dekat pada gaya hidup, ekspresi diri, atau bahkan ladang konten digital. Dalam lanskap semacam ini, Diklatsar sering dianggap terlalu berat, terlalu lama, dan kurang adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Masalah inklusivitas juga menjadi sorotan. Dalam beberapa kasus, sistem Diklatsar dianggap menutup pintu bagi mereka yang memiliki keterbatasan tertentu—baik secara fisik, ekonomi, atau waktu. Apalagi dengan berkembangnya kesadaran akan pentingnya ruang yang terbuka dan ramah bagi semua kalangan, model pelatihan yang kaku dan selektif mulai dipertanyakan.
Tak sedikit organisasi yang menghadapi dilema regenerasi akibat hal ini. Ketika jumlah calon anggota menurun karena tidak tertarik mengikuti proses yang panjang dan menuntut, muncul dorongan untuk menyesuaikan atau bahkan menghapus sistem Diklatsar.
Namun, di tengah semua kritik tersebut, justru tampak bahwa Diklatsar masih memiliki peran yang sangat vital—bukan sebagai alat seleksi semata, melainkan sebagai ruang pendidikan karakter. Di tengah budaya instan yang mengedepankan hasil tanpa proses, Diklatsar mengajarkan ketekunan, tanggung jawab, dan solidaritas. Nilai-nilai inilah yang sulit diperoleh hanya lewat bacaan atau video daring.
Dalam Diklatsar, peserta tidak hanya belajar apa yang harus dilakukan saat menghadapi situasi darurat, tetapi juga mengapa tindakan itu penting, dan bagaimana melakukannya bersama orang lain dalam ikatan saling percaya. Di sana, seseorang belajar tidak hanya menjadi pendaki yang andal, tetapi juga anggota tim yang peduli dan bertanggung jawab.
Dalam beberapa sumber menunjukkan bahwa pendidikan karakter berbasis alam terbuka terbukti mampu meningkatkan kepemimpinan, empati, serta kesadaran ekologis peserta. Ini menunjukkan bahwa Diklatsar bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk tetap dipertahankan—dengan catatan bahwa bentuk dan pendekatannya bisa diperbarui sesuai konteks zaman.
Perubahan memang diperlukan. Diklatsar tidak boleh menjadi simbol kekuasaan senioritas, apalagi ruang normalisasi kekerasan. Ia perlu didekonstruksi dan dirancang ulang agar menjadi pengalaman yang transformatif, bukan traumatis. Inklusivitas harus menjadi bagian dari desain pelatihan, tanpa menghilangkan semangat pembelajaran yang serius dan bermakna.
Dengan demikian, mempertahankan Diklatsar bukanlah soal romantisme masa lalu, tetapi pilihan sadar untuk tidak kehilangan makna dalam proses menjadi bagian dari alam. Di tengah dunia yang serba instan, Diklatsar hadir sebagai pengingat bahwa mencintai alam tidak cukup hanya dengan niat, tetapi juga butuh proses, kedewasaan, dan tanggung jawab.
Oleh : Jupri Nugroho (Tulisan ini didedikasikan Dalam Rangka Milad Agripala SMKN 2 Tangerang)
Disclaimer: Artikel ini merupakan produk meja redaksi Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya merupakan sebuah opini dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada siapapun.