Tangerangupdate.com – Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa istilah penonaktifan anggota DPR RI tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Menurutnya, istilah tersebut kerap digunakan partai politik sebagai strategi politik internal untuk meredam tekanan publik, tetapi secara hukum tidak mengubah status resmi anggota DPR.
“Jadi, konteks nonaktif dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum,” katanya, Senin 1 September 2025.
Ia menjelaskan, Pasal 144 UU MD3 mengatur bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan atau anggota MKD yang sedang dalam proses aduan yang memenuhi syarat. Hal ini juga ditegaskan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR.
“Ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, hal tersebut sebenarnya masih berupa keputusan internal politik partai atau fraksi, belum mekanisme hukum yang otomatis mengubah status mereka sebagai anggota DPR,” jelasnya.
Menurut Titi, perubahan status anggota DPR hanya bisa dilakukan melalui mekanisme formal yang diatur dalam UU MD3, yakni Pemberhentian Antar Waktu (PAW). Proses PAW melibatkan usulan dari partai politik, persetujuan pimpinan DPR, dan penetapan Presiden.
Ia membeberkan, Pasal 239 UU MD3 menyebutkan tiga alasan utama pemberhentian antar waktu, yaitu meninggal dunia, pengunduran diri, dan pemberhentian berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti tidak mampu menjalankan tugas selama tiga bulan tanpa alasan jelas, pelanggaran sumpah jabatan, pidana penjara lima tahun atau lebih, pelanggaran kode etik, hingga pemberhentian sebagai anggota partai politik.
“Dalam Pasal 239 UU MD3, diatur secara tegas mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW) bagi anggota DPR. Ketentuan ini menjadi satu-satunya dasar hukum yang dapat mengubah status keanggotaan seseorang di DPR,” tambahnya.
Lebih lanjut, penggantian anggota DPR yang berhenti antar waktu diatur dalam Pasal 242 UU MD3, di mana kursi tersebut digantikan oleh calon anggota dari partai yang sama dengan suara terbanyak berikutnya di daerah pemilihan yang sama.
Titi menilai penggunaan istilah penonaktifan di luar ketentuan hukum dapat menimbulkan kebingungan dan kerancuan di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, demi menjaga kepercayaan publik, menurut Titi, partai politik harus mempertegas apa yang dimaksud dengan penonaktifkan tersebut.
“Menjelaskan kepada masyarakat konsekuensi dari penonaktifan terhadap status dan hak keanggotaan dari anggota DPR yang dinonaktifkan itu,” tandasnya.