Tangerangupdate.com | Pagi itu, Sebut saja ibu Neng masih setia dengan sapunya. Trotoar yang berdebu serta sampah platik, ia bersihkan dan kumpulkan. Peluh keringat tampak tak menyurutkan usaha kerjanya yang sudah lebih dari delapan tahun ia jalani. Dari subuh hingga petang, memastikan jalan Kota Tangerang tetap bersih.
Namun, ada yang berbeda hari ini. Jalanan mulai ramai dengan orang-orang yang berbelanja untuk menyambut Idulfitri. Ibu-ibu sibuk memilih baju baru untuk anaknya, aroma kue kering dari toko-toko menguar, para pegawai berbincang riang soal THR.
Neng berhenti sejenak, menyeka keringat. Matanya menatap kosong ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Bukan karena ingin berbelanja—ia tahu dompetnya tak memungkinkan. Tapi hatinya nyeri membayangkan anaknya di rumah bertanya, “Ibu, kapan kita beli baju Lebaran?”
Neng hanya bisa tersenyum di depan mereka, tapi dalam hati ia menangis. Setiap hari, tukang sapu jalan seperti Neng memastikan setiap jengkal tetap bersih.
Hujan atau terik, mereka tetap bekerja, tak berfikir untuk libur. Jika tak bekerja, tak ada uang. Tapi meski mereka bekerja tanpa jeda, mereka tetap dianggap “tenaga harian lepas”—pekerja tanpa kepastian.
Tidak ada tunjangan kesehatan. Tidak ada jaminan hari tua. Dan lebih menyakitkan lagi, tidak ada THR.
Nasib serupa dialami juga oleh Bunga bukan nama sebenarnya, seorang ibu dua anak yang juga bekerja sebagai penyapu jalan. Bunga, hanya bisa menghela napas saat mendengar tetangganya menerima THR dari kantornya.
“Anak-anak saya sudah paham, mereka nggak pernah meminta lebih. Tapi tetap saja, sebagai ibu, hati saya sakit. Saya ingin mereka merasakan sedikit kebahagiaan, seperti anak-anak lain,” ucapnya kepada Kantor berita Tangerangupdate.com
Bunga bercerita, tahun lalu ia hanya bisa memasak makanan seadanya untuk Lebaran. Tidak ada kue kering, tidak ada daging seperti yang dimiliki keluarga lain. Hanya tahu dan tempe. Tahun ini, ia tidak tahu apakah akan lebih baik—atau justru lebih buruk.
Peraturan pemerintah menyebutkan bahwa THR wajib diberikan kepada pekerja tetap dan kontrak. Tapi bagi pekerja harian lepas seperti mereka, aturan itu terasa jauh.
“Kami ini ada di tengah-tengah. Dibilang pekerja, iya. Tapi kalau soal hak, kami dianggap tidak ada,” kata Bunga. Setiap tahunnya, harapan itu selalu ada. Setiap tahunnya pula, mereka dikecewakan.
“Mungkin kami memang cuma tukang sapu. Tidak dianggap penting. Tapi coba bayangkan kalau sehari saja kami berhenti bekerja. Kota ini akan penuh sampah. Kami ada di sini, tapi kenapa hak kami selalu diabaikan?” suara bunga bergetar.
Ketika para pegawai bersorak menerima THR, menghitung uang untuk membeli tiket pulang kampung, dan berbagi rezeki dengan keluarga. Di jalanan yang ia bersihkan setiap hari, Neng dan Bunga hanya bisa menunduk, melanjutkan pekerjaannya.
Lebaran semakin dekat. Tapi bagi mereka, tidak ada amplop THR, tidak ada baju baru, tidak ada kepastian. Hanya ada doa yang mereka ucapkan diam-diam—agar tahun depan mungkin ada keajaiban.