Tangerangupdate.com (17/03/2021) | Opini — Pasca pengesahan UU No. 38 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dengan KMA 373 Tahun 2003, memberi arah pasti bagi pengelolaan zakat yang tadinya tidak tertata rapih, kalaupun ada pengelolaan bersifat dadakan dengan kelembagaan jauh dari memadai.
Setelah itu ada amandemen UU No. 38 1999 menjadi UU No 23 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dengan PP No 14 Tahun 2014 dan KMA 333 2015. Ini pun memang harus diakui norma hukum hanya tertuju pada pengelolaan zakat, bukan lainnya mengingat zakat adalah pranata keagamaan Islam yang sepenuhnya diletakkan pada kerelaan untuk ditunaikan, bukan dengan paksaan.
Lebih dari dua puluh dua tahun, telah menikmati indahnya zakat dalam sistem hukum nasional dengan program meningkatkan kesejahteraan umat. Tinggal berharap pada upaya semua pihak untuk terus menghidupkan hukum zakat di lapangan, agar derita kaum papa tidak terlalu lama terjadi.
Masa tersebut berisi pengelolaan zakat berjalan secara sempurna dengan penguatan kelembagaan, jejaring muzakki-mustahik, perencanaan, pemberdayaan sampai monitoring-evaluasi di lapangan. Masuknya zakat dalam sistem hukum nasional adalah relevansi aktual dari misi suci syariat Islam untuk kemanusiaan universal.
Islam terbaca sebagai agama teosentrik-humanisme, meminjam teori Kuntowijoyo (Paradigma Islam, Mizan : 1995) yang berisi ritual keagamaan sekaligus aksi kemanusiaan dengan pembelaan kaum mustad’afin, yakni golongan yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik telah menjadi lemah dalam rumah NKRI.
UU Zakat di atas jangan sampai hanya bentangan hukum (law ini book) tapi harus ada aksi kongkrit sekaligus efektif di lapangan untuk pengentasan kemiskinan (law in action). Dengan kata lain, legislasi zakat jangan sampai membentur ruang hampa, sementara jutaan rakyat miskin menantikan sentuhan dana zakat.
Penguatan Kelembagaan
Dalam praktik di lapangan aksi aktual zakat dalam ekonomi umat ditandai dengan kelahiran Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Kehadiran mereka menjadi pintu masuk dalam menjadikan zakat sebagai katup pengaman ekonomi nasional, sebagai agen perubahan menjalankan amanah pemberdayaan umat sesuai amanah UU Zakat.
Kehadiran OPZ itu, baik dari masyarakat maupun negara telah berupaya mengerek perekonomian umat yang sangat terasa dan terbaca dari banyak berita pemberdayaan zakat bagi masyarakat. Pemberian zakat bersifat konsumtif untuk para kaum dhuafa, zakat produktif berupa penyertaan modal sekaligus alat usaha, beasiswa bagi pendidikan dan program kepedulian sosial lainnya. Masyarakat akan tetap merindukan peran penting OPZ dalam setiap jengkal kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara praktis tugas pemerintah tidak akan mampu merealisasikan program pengentasan kemiskinan tanpa partisipasi publik: lembaga keagamaan, organisasi dan peran personal masyarakatnya dalam kepedulian sosial. Ini sangat terasa getarannya ketika peran OPZ dengan model beragam pemberdayaan zakat di beberapa tempat telah menjadi agen pengentasan kemiskinan di tengah kerja keras pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan.
Pasca amandemen UU No 38/1999 menjadi UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat terutama dari tahun 2015 peran BAZNAS perlahan tapi pasti menemukan bentuknya yang sempurna. Proyeksi menjadi central of OPZ sudah mulai terasa dengan perannya dalam penataan jaringan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang pendapatannya sangat memuaskan.
Mengutip dari baznas.go.id (1/01), BAZNAS RI berhasil meningkatkan penghimpunan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) sebesar 30 persen dari tahun lalu, meskipun tengah dalam masa krisis akibat pandemi Covid-19. Sepanjang 2020, BAZNAS menghimpun dana ZIS sebesar Rp385,5 Miliar sedangkan pada 2019, penghimpunan mencapai Rp 296 Miliar.
Jumlah ini setara dengan 101,44 persen dari target penghimpunan ZIS yang ditetapkan pada awal tahun. Ketua BAZNAS, Prof Dr KH Noor Achmad MA menyampaikan rasa syukurnya atas pencapaian tersebut.
Bahkan World Giving Index 2020 mengkonfirmasi zakat merupakan salah satu pendorong kedermawanan masyarakat. Dalam laporan tersebut juga dikatakan bahwa BAZNAS sebagai lembaga pemerintahan non struktural ikut mendukung kuat kampanye zakat di Indonesia. BAZNAS juga aktif bersama badan-badan di bawah PBB ikut berbagai program yang mendorong kedermawanan ini.
Pada 2022 BAZNAS menargerkan 300 miliar pendapatan zakat, berdasar refleksi dan proyeksi dari pendapatan di atas. Artinya OPZ di masa mendatang harus lebih menarik perhatian publik agar tercipta partisipasi aktif dan produktif dalam pemberdayaan zakat. Mereka juga harus terus menerus menelorkan program yang paralel dengan kebutuhan pemberdayaan umat.
Inilah yang pada gilirannya menjadikan OPZ sampai detik ini masih dirindukan perannya oleh masyarakat. Artinya, rasa bersama itu juga menjadi rajutan untuk semua OPZ yang ada di tanah air untuk terus melayani umat.
Kebangkitan Zakat adalah out put dari sinergi produktif antara banyak OPZ dengan tetap mengindahkan peran masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, itu pada satu sisi. Sementara pada sisi menjadikan pemicu untuk terus melakukan trobosan dalam menarik minat muzakki untuk menyerahkan zakatnya pada lembaga yang telah disahkan oleh negara.
OPZ mutakhir adalah sebuah kebangkitan program pengenalan lebih luas pada publik, sehingga bangunan kepercayaan itu terus menguat. Saat yang sama program yang ditawarkan juga bisa lebih beragam sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat.
Rasa Keadilan Ketika Pandemi
Sudah menjadi maklum, pasca pandemi covid-19 telah melahirkan banyak kantong-kantong kemiskinan karena tidak dapat melakukan aktifitas ekonomi secara normal. Ketika situasi sudah mulai membaik maka kebutuhan akan dana konsumtif sekaligus produktif dari ZIS tidak bisa dielakkan lagi. Artinya, OPZ sudah harus memulai dari titik pacu dari realitas kantong kemiskinan tersebut.
Saya kira mencoba menarik ke tengah adalah pilihan layak dicoba. Maknanya pengenalan zakat sudah harus mulai merambah pada generasi millenial sebagai agen produktif dalam suasana perkembangan dunia informasi modern. Kid zaman now ini adalah tunas kepedulian sosial yang pada saatnya nanti akan menjadi agen dalam menyadarkan sekaligus mendayagunakan zakat di tanah air.
Harapan ini memang mempunyai risiko coba dan salah, mengingat untuk mengenalkan sekaligus mendayagunakan zakat perlu tahapan pelatihan kualitas SDM pengelola zakat. Konsekuensi ke depan, pelatihan tentang manajemen zakat sedapat mungkin bisa menarik kalangan millenial.
Tapi tetap mempertahankan apa yang sudah terbangun dengan baik selama ini, sehingga agen terbaru millenial tersebut tidak kehilangan mentor di lapangan. Rajutan ini akan menjadi nutrisi segar bagi kebangkitan zakat di tanah air yang terus dirindukan kita bersama.
Membangkitkan hukum zakat sebenarnya menjadikan kaum dhuafa tetap tersenyum, bisa menjalani hidup sekaligus berusaha dalam roda perekonomian umat. Sejarah legislasi hukum zakat pasca orde baru adalah semangat membebaskan kaum dhuafa dari ketertinggalan berdaya secara ekonomi, politik, sosial dan budaya selam puluhan tahun. Dan kini mereka tetap menunggu sabar untuk sebuah rasa keadilan hukum zakat.
Wallahul muwaffik Ila aqwamith thoriq
Oleh : Muhtar Sadili | Kontributor Buku Problematika Zakat Kontemporer (FOZ 2002) dan Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta