Tangerangupdate.com – Baru dapat Penghargaan Kota Layak anak, Kasus pelecehan seksual SMPN 23 Tangerang mencuat setelah kuasa hukum korban, Tiara Nasution, melaporkan dugaan tindakan asusila yang dilakukan wakil kepala sekolah berinisial SY terhadap siswi kelas 7.
Tiara menyampaikan, perbuatan itu diduga terjadi tiga kali pada Mei 2025. Korban disebut tak mampu melawan karena ketakutan.
“Pelaku adalah wakil kepala sekolah berinisial SY. Korban tidak bisa berteriak atau melawan karena takut, dia hanya pasrah,” ujar Tiara, Selasa (12/8/2025).
Laporan resmi atas dugaan pelecehan seksual ini telah diajukan ke pihak kepolisian pada 25 Juni 2025. Dalam audiensi di DPRD Kota Tangerang, Tiara meminta Wakil Ketua II DPRD Kota Tangerang dari Fraksi PKS, Arief Wibowo, untuk mengawal proses hukum agar pelaku tidak lolos dari jerat hukum.
“Kami minta kasus ini benar-benar dikawal. Pelaku harus diproses sesuai hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Humas SMPN 23 Kota Tangerang, Sri Mulyani, membenarkan SY pernah mengajar di sekolah tersebut.
“Memang pernah mengajar di sini, tapi sejak Juli sudah tidak lagi. Kasusnya sudah ditangani kepolisian. Jika dipanggil menjadi saksi, kami siap bekerja sama,” jelasnya, seperti dikutip kamis (14/08).
Kasus ini menambah daftar panjang pelecehan seksual di sekolah yang menjadi perhatian publik.
Ironisnya, kasus ini muncul ketika pemerintah daerah baru saja menerima Penghargaan Kota Layak Anak (KLA) Peringkat Nindya Tahun 2025 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Republik Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Anita ativis perlindungan anak dan perempuan dari Rights (Research, Public Policy & Human Rights) mempertanyakan penghargaan yang baru saja diraih oleh Pemkot Tangerang.
Ia juga mendesak pihak sekolah, pengawas pendidikan, hingga pemerintah daerah untuk segera bertindak tegas. Dalam pandangannya, penundaan penanganan sama saja membiarkan korban mengalami trauma lebih dalam.
Lebih lanjut Anita menegaskan bahwa penghargaan KLA bukan sekadar piagam untuk dipajang, melainkan komitmen nyata yang harus diwujudkan dalam perlindungan anak tanpa kompromi.
“Sekolah itu harus jadi benteng terakhir yang melindungi anak-anak. Kalau benteng ini jebol, artinya ada yang salah besar dalam sistem kita,” ujarya saat dihubungi Kamis siang.
Ia menilai, insiden seperti ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan individu semata. Menurutnya, ketika pelecehan bisa terjadi di sekolah, berarti ada celah pengawasan, kelalaian pihak terkait, dan lemahnya penegakan aturan.
“Kalau keamanan anak saja tidak bisa dijamin, untuk apa kita menyebutnya tempat pendidikan?” tegasnya.
Editor: Jupry Nugroho
Reporter: Juno