Tangerangupdate.com – Hari pertama pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 6 dan SMPN 17 Kota Tangerang Selatan, Senin (14/7/2025), terganggu akibat masih ditutupnya akses utama menuju kedua sekolah tersebut. Penutupan dilakukan warga sebagai bentuk protes atas konflik lahan yang belum terselesaikan.
Akibatnya, para siswa, termasuk peserta didik baru, harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 300 meter dari titik drop-off kendaraan di jalan utama.
Gerbang yang biasa digunakan untuk akses keluar-masuk sekolah terpantau dalam kondisi terkunci dengan rantai dan gembok.
“Dari pagi sudah ramai, anak-anak jalan kaki karena portal belum dibuka. Masih digembok dari dalam,” kata Nursani, pedagang yang biasa berjualan di sekitar sekolah.
Seorang guru SMAN 6 yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan bahwa bukan hanya siswa, para guru dan staf juga terdampak.
“Kami juga kesulitan. Beberapa guru harus memutar jauh atau jalan kaki membawa perlengkapan. Aktivitas sekolah jadi terganggu,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Sekolah SMAN 6 Tangsel hanya memberikan pernyataan singkat. “Saya baru di luar, Pak,” jawabnya melalui pesan singkat.
Mediasi antara warga dan instansi terkait masih berlangsung di Mapolsek Pamulang. Terlihat perwakilan dari sekolah, perwakilan warga, Kementerian Pendidikan (Direktorat Diksasmen), dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten hadir dalam pertemuan tersebut.
Hingga pukul 13.16 WIB, proses mediasi masih berjalan, sementara aparat kepolisian dan Satpol PP berjaga di sekitar lokasi.
Sebelumnya, Ketua RW 010, Suhendar Wijaya, menyampaikan bahwa warga sudah tidak bisa menerima alasan-alasan teknis seperti petunjuk teknis (juknis) atau petunjuk pelaksanaan (juklak) yang selama ini digunakan pemerintah.
Ia menegaskan bahwa aksi warga dilandasi rasa ketidakadilan.
“Ini bukan soal tidak paham aturan. Tapi karena aturan itu sering kali tidak memihak masyarakat kecil. Aksi ini adalah bentuk perlawanan kami agar pemerintah sadar, kami punya hak yang sama,” ujar Suhendar.
Ia juga menginformasikan bahwa pada Sabtu (5/7), warga telah melayangkan surat keberatan resmi kepada Gubernur Banten. Mereka mendesak agar Dinas Pendidikan Provinsi segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh.
“Harapan kami sederhana, agar ada kepastian untuk anak-anak kami. Jangan sampai mereka terus dikorbankan karena konflik yang tak kunjung selesai,” tutup Suhendar.