Tangerangupdate.com – Dua anak di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terancam tidak dapat melanjutkan sekolah karena tak mampu membayar seragam yang bebankan pihak sekolah.
Nur Febri Susanti, ibu dari kedua anak tersebut, menceritakan pengalaman pahitnya saat mendaftarkan dua anaknya ke sekolah negeri pada 11 Juli 2025.
Saat itu, Nur bertemu langsung dengan kepala sekolah untuk mengurus proses pindah anak keduanya, kelas 5, dan anak ketiganya, kelas 2.
Tanpa melalui rapat komite atau mekanisme resmi, kepala sekolah langsung menyebutkan nominal pungutan sebesar Rp1,1 juta untuk seragam batik, olahraga, muslim, dan buku paket.
“Saya diberi tahu harus bayar Rp1,1 juta untuk seragam batik, olahraga, muslim, dan juga buku paket. Padahal, setahu saya buku paket itu seharusnya dipinjamkan, bukan dibeli,” kata Nur saat ditemui, Rabu 17 Juli 2025.
Nur menyayangkan hal ini, mengingat buku paket seharusnya dipinjamkan, bukan dibeli.
Yang lebih mengejutkan, kepala sekolah memberikan nomor rekening pribadi untuk pembayaran dan menyarankan agar biaya tidak dicicil.
Menurutnya, hal ini bisa membuat anak merasa berbeda jika belum memakai seragam lengkap.
Nur, yang mengaku berasal dari keluarga tidak mampu, mengungkapkan kesulitan ekonominya.
Suaminya bekerja sebagai tukang parkir, sementara ia sendiri belum bisa kembali berjualan pempek setelah pindah rumah. Ia pun belum mampu membayar biaya seragam tersebut.
“Saya belum bisa bayar karena memang belum ada uangnya. Kepala sekolah terus menanyakan kapan saya bisa bayar, cicil berapa, padahal saya takut anak saya tidak diterima,” ujarnya.
Merasa tertekan dan bingung, Nur melihat sebuah unggahan media sosial dari pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah negeri tidak boleh memungut biaya. Ia kemudian meninggalkan komentar terkait pengalamannya.
“Saya pikir media sosial itu tempat bertanya. Saya cuma komentar, ternyata jadi ramai dan katanya sampai ke Dinas,” katanya.
Sehari setelah komentar itu viral, Nur dipanggil oleh kepala sekolah dan justru dimarahi. Ia dituduh mencemarkan nama baik sekolah dan diminta mencari sekolah lain untuk anak-anaknya.
Setelah viral pihak Dinas Pendidikan & Kebudayaan menjamin kedua anaknya tetap bisa bersekolah. Hari ini Kamis (17/08) anak-anak Nur sudah mulai masuk sekolah meski dirinya belum bertemu kembali dengan kepala sekolah.
“Alhamdulillah anak saya sudah bisa sekolah. Tapi saya belum tahu reaksi kepala sekolah selanjutnya,” ujarnya.
Nur berharap kejadian ini menjadi pembelajaran bahwa pungutan liar tidak boleh terjadi di sekolah negeri, apalagi terhadap keluarga yang kurang mampu. Ia juga menegaskan bahwa dirinya hanya ingin anak-anaknya mendapatkan hak pendidikan tanpa diskriminasi.
“Saya hanya ingin anak saya sekolah. Jangan karena saya miskin, anak saya jadi korban,” tutup Nur.