
Oleh : Muhammad Rizky Silaban (Mahasiswa IAIN Bukit Tinggi)
Muhammad Abid Al Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Dilahirkan di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali masuk sekolah agama, kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca. Seiring dengan kemerdekaan Maroko, beliau melanjutkan pendidikan sekolah tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau masuk di Universitas Rabat yang baru didirikan. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun” , (filsafat al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi). Dan menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970, dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami” (Pemikiran Ibn Khaldun. Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam).
Pemikiran Al-Jabiri banyak dilatar belakangi oleh ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab pada saat itu. Bahkan ia mengaku sebagai orang yang mengagumi ajaran Marx. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di negara bekas protektoriat Prancis, Al-Jabiri tidak kesulitan untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa prancis, oleh karena itu ia banyak menggunakan pendekatan pemikiran kaum strukturalis maupun kaum post-modernis yang rata-rata lahir di Prancis. Berdasarkan metode yang digagasnya, al-Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini dia membatasi diri hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa Arab, tidak mencakup teks-teks non-Arab seperti teks-teks Persia,meski ditulis oleh cendikiawan muslim. Selain itu Ia juga membatasi diri pada persoalan epistemologi, yakni mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak tertentu. Karena itu, karya-karya al- Jabiri tidak akan membahas persoalan-persoalan seperti, ortodoksi, wahyu, mitos, imajiner, symbol atau persoalan teologis yang lain.
Kritik Nalar Islam
“Kritik Nalar Arab” yang dilahirkan oleh al-Jabiri adalah merupakan aplikasi dan penjabaran dari beberapa ayat yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, seperti “afala ta’qilun”, “afala tadabbarun”. Kata “kritik” (yang dihubungkan dengan kata- kata “pengetahuan”, “akal”, “sastra”, dan “seni” )Menurut pengertian dalam tradisi filsafat Arab berarti pemeriksaan dan penelitian yang bertujuan menjelaskan kekurangan dan kebaikan yang terdapat dalam sesuatu. Sedangkan kata “nalar “ antara lain berarti pertimbangan tentang baik buruk dsb, akal budi : setiap keputusan harus didasarkan, demikian pula nalar berarti, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir yang logis, dan “akal“ itu sendiri berarti daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan.
Dengan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Kritik Nalar Arab adalah suatu sistem penyelidikan atau penelitian terhadap sesuatu (tradisi) masa lalu dengan kacamata nalar atau akal, sehingga dengan pola tersebut mampu menyingkap hal-hal yang tersembunyi menjadi Nampak dengan wajah yang baru meskipun asalnya dari yang lama.
Kritik nalar al-Jabiri, terfokus pada nalar Arab bukan nalar Islam, dengan pertimbangan bahwa, ia membatasi jangkauan kritiknya pada tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam lingkungan masyarakat Arab dalam lingkungan georafis dan kultur tertentu. Kritik ini tidak diproyeksikan untuk membangun teologi atau ilmu kalam baru, artinya kritik al-Jabiri ini bukan kritik teologis yang menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan Ketuhanan, wahyu dan aliran-aliran kalam; melainkan kritik epistemologi, yakni kritik yang ditujukan kepada kerangka dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan sejarah tertentu.
Kritik nalar Arab merupakan studi kritis yang dilakukan oleh Al-Jabiri terhadap pemikiran sebagai perangkat untuk menelurkan produk-produk teoritis yang dibentuk oleh kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab, mencerminkan realitas, dan ambisi-ambisi masa depan. “Kritik nalar Arab” menjadi fondasi penting bagi pengembangan pemikiran Islam kontemporer karena berhasil menemukan benang merah epistemologi keilmuan pada era kodifikasi. Titik tekan perhatiannya terletak pada pemikiran sebagai perangkat berpikir, bukan pemikiran sebagai sebuah produk. Dengan demikian wilayah kritik yang dikembangkan oleh Al-Jabiri merupakan wilayah epistemologi.
Ia juga menyimpulkan bahwa terdapat tiga sistem epistemologi yang muncul, al-Jabiri menyebut istilah tersebut dengan sistem indikasi atau eksplikasi (Bayani), kemudian sistem iluminasi atau gnostik („Irfani), dan sistem demonstratif atau keterangan inferensi (Burhani). Sisitem epistemologi yang diusung al-jabiri tersebut adalah dengan meniru konsep Episteme-nya Foucalt, yang bukan hanya sekedar aturan prosedural atau protokoler penelitian.Kemudian, untuk menjawab tantangan modernitas itu sendiri, al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut al-Jabiri dapat bersifat relevan adalah dengan menggunakan tipologi yang ditawarkannya,yaitu tentang tradisi burhani, bayani, dan irfani.
- Epistemologi Bayani
Menurut al-Jabiri bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks Arab (nas) yang digali lewat inferensi (istidla). Yakni pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’, ijtihad dan ilmu bahasa Arab. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam., secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan.
- Epistemologi ‘Irfani
Yaitu dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’ah, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, dansebutan irfani itu sendiri dipakai untuk menunjukkan satu proses bernalar yang mendasarkan diri pada ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan.
Adapun cara kerja ‘irfani adalah proses pemahaman yang berangkat makna sebuah teks menuju lafaz teks tersebut. Persoalannya bagaimana mengungkap makna atau dimensi batin yang diperoleh dari proses kasf tersebut. Al-Jabiri mengemukakan bahwa makna tersebut bisa terungkap pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiyas ‘irfani, yaitu analogi makna batin yang diungkap dalam kasf kepada makna zahir yang ada dalam teks
- Epistemologi Burhani
model metodologi berfikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan yang dimaksud disini adalah bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral. Sumber epistemologi ini adalah realita dan empiris; alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baik di laboratorium ataupun alam nyata, baik yang bersifat social maupun alam.