Tangerangupdate.com – Peneliti Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH), Ahmad Priatna, meminta Bupati dan Wakil Bupati Tangerang, Moch Maesyal Rasyid – Intan Nurul Hikmah fokus bekerja dan berhenti melakukan pencitraan.
Permintaan ini ia sampaikan menanggapi berita mengenai 266.430 warga Kabupaten Tangerang yang masih tergolong miskin.
Menurut Priatna, data kemiskinan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan tamparan keras dalam 100 hari pertama masa jabatan Maesyal dan Intan.
“Ini bukan sekadar angka. Ini adalah ratusan ribu realita, keluarga yang kesulitan makan, anak-anak yang putus sekolah, dan masyarakat yang tersingkir dari akses kesehatan dan pekerjaan layak,” katanya kepada kantor berita Tangerangupdate.com, Kamis 5 Juni 2025.
Priatna menyoroti ironi bahwa Kabupaten Tangerang saat ini menempati posisi wilayah dengan jumlah warga miskin terbanyak di Provinsi Banten, sekaligus peringkat ketiga dalam persentase kemiskinan.
Selain kemiskinan, angka pengangguran di Kabupaten Tangerang juga menjadi sorotan, mencapai 6,09% atau 102.510 orang. Priatna menilai, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan Pemkab Tangerang belum menciptakan efek turunan yang merata bagi masyarakat.
“Yang lebih mengkhawatirkan adalah, penghargaan demi penghargaan terus diterima, seremoni terus dilakukan, namun tidak berjalan beriringan dengan pengurangan kemiskinan. Penghargaan dan seremoni tidak akan pernah cukup jika manusianya dibiarkan tertinggal,” ungkapnya.
“Apakah penghargaan sangat penting? Atau haruskah warga miskin menunggu giliran dilihat setelah pencitraan keduanya selesai?” bebernya.
Priatna menilai pemerintah Kabupaten Tangerang tampak terjebak dalam fenomena fotogenik atau pencitraan visual, alih-alih menghadirkan kebijakan yang berpihak pada akar masalah sosial.
Menurutnya, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi seharusnya menjadi indikator utama dalam menyusun kebijakan berbasis kebutuhan riil masyarakat.
“Hari ini Maesyal dan Intan perlu menjawab, di mana prioritas kebijakan pengentasan kemiskinan dalam 100 hari kerja?” tegas Priatna.
Ia menekankan bahwa warga tidak membutuhkan janji, melainkan perubahan yang nyata. “Kemiskinan adalah wajah ketimpangan yang tidak bisa disembunyikan di balik baliho. Bila 100 hari awal hanya dipenuhi seremoni dan seremonial, maka masa jabatan ke depan bisa menjadi bukti nyata dari kelalaian kebijakan,” tutup Priatna.