Tangerangupdate.com – Tangerang Selatan (Tangsel) telah menjelma menjadi pusat politik dinasti yang kuat, menimbulkan keprihatinan mendalam terhadap kesehatan demokrasi lokal. Sejak Pilkada pertama, Ratu Atut Chosiyah, sebagai Gubernur pertama, dan Airin Rachmi Diany yang terpilih sebagai wali kota selama dua periode, telah meneguhkan kekuasaan keluarga dalam pengelolaan pemerintahan.
Keduanya tidak hanya memperkuat dominasi mereka tetapi juga menciptakan jaringan yang memudahkan transisi kepemimpinan di antara anggota keluarga dan afiliasi dekat, seolah menciptakan ekosistem politik yang menutup akses bagi calon pemimpin baru.
Setelah Airin, Pilar Saga Ichsan melanjutkan tradisi ini sebagai generasi penerus. Langkahnya menunjukkan adanya kesinambungan yang jelas dalam dinasti ini, namun hal ini juga menimbulkan pertanyaan kritis: di mana inovasi dan keragaman dalam kepemimpinan? Praktik politik seperti ini berpotensi mengabaikan suara masyarakat yang lebih luas, menciptakan kesenjangan antara penguasa dan rakyat.
Kekhawatiran ini diperparah oleh kondisi politik saat ini, di mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan pemimpin yang kompeten semakin diperlukan. Sirkulasi kepemimpinan yang sehat, yang esensial dalam demokrasi, tampaknya terhambat oleh dominasi kekuasaan yang berlarut-larut. Tanpa sirkulasi yang baik, penguasa dapat dengan mudah mengaktifkan kekuasaan darurat, membatasi hak-hak demokratis, dan menerapkan kontrol ketat atas lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya mandiri.
Praktik penyalahgunaan wewenang semakin terlihat jelas ketika aparat pemerintah, seperti, terlibat dalam kampanye politik praktis, melanggar prinsip netralitas. Ketika lembaga-lembaga ini dijadikan alat untuk menguatkan kekuasaan tertentu, demokrasi lokal tidak hanya terancam, tetapi juga dikhianati. Penggunaan cara-cara ini untuk memperkuat dominasi politik sangat berbahaya dan merusak integritas pemilihan umum.
Dampak destruktif dari politik dinasti ini tidak hanya berdampak pada tingkat pemimpin, tetapi juga mengancam sustainabilitas perangkat pemerintahan, mulai dari kecamatan hingga RT. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebagai dinamika natural, melainkan hasil desain yang disengaja untuk mempertahankan kekuasaan. Ini memerlukan respon yang serius dan kritis dari masyarakat untuk menyelamatkan kehidupan berdemokrasi.
Dalam konteks ini, sangat penting bagi publik untuk lebih aktif dalam menilai calon pemimpin, mendorong sistem yang lebih inklusif dan transparan. Harapan akan demokrasi yang sehat terletak pada kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi praktik-praktik kotor dan menuntut pertanggungjawaban. Jika tidak, kita mungkin akan melihat penguasa yang terus merongrong hak-hak demokratis, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka.
Tangerang Selatan harus menjadi pelajaran bagi daerah lain. Ketika kekuasaan tidak diawasi dan pemimpin dipilih berdasarkan hubungan keluarga, maka demokrasi akan terancam, agar esensi demokrasi tidak tergerus oleh praktik-praktik yang menindas.
Penulis: Muh Fadlul Rahman Arlan
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.