Tangerangupdate.com – Di tengah upaya untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, belakangan muncul isu yang mengkhawatirkan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui rapat Badan Legislasi (Baleg) pada hari Rabu (21/8/2024) berencana untuk membajak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya telah menetapkan sejumlah ketentuan penting dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Tindakan ini tidak hanya mencerminkan potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap konstitusi yang semestinya dijunjung tinggi.
DPR sebagai wakil rakyat hari ini dinilai telah gagal dalam menjaga keutuhan demokrasi. Bagaimana tidak? RUU Pilkada yang dibahas ketika rapat Baleg sehari setelah putusan MK ditetapkan, justru mempertontonkan bobroknya demokrasi di Indonesia dengan tidak mengakomodir Putusan MK 70/2024, tapi justru mengakomodir Putusan MA No 23P/2024.
Padahal, putusan MK bersifat final and binding (final dan mengikat). Terlebih di dalam ilmu hukum terdapat asas “lex posterior derogat legi priori”, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex priori). Sehingga DPR tidak semestinya mencari celah untuk mengakali pembegalan putusan MK demi kepentingan segelintir elite.
Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat, di mana keputusan politik seharusnya mencerminkan kehendak masyarakat. Dengan membajak putusan MK, DPR menunjukkan bahwa kepentingan elite politik lebih diutamakan daripada suara rakyat.
Hal ini tentu menciptakan kesan bahwa legislasi tidak lagi berfungsi sebagai representasi dari aspirasi masyarakat, melainkan sebagai alat untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
RUU Pilkada yang diusulkan oleh DPR dan rencana untuk menganulir putusan MK adalah sinyal jelas bahwa demokrasi di Indonesia sedang menghadapi tantangan serius. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan bobroknya sistem politik, tetapi juga menunjukkan perlunya reformasi yang mendalam terhadap integritas kinerja DPR sebagai lembaga legislatif.
Seakan tidak mengindahkan putusan yang telah ditetapkan oleh MK, DPR berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Hal ini dapat mengarah pada manipulasi politik dan penyalahgunaan kekuasaan, di mana calon-calon tertentu, terutama yang memiliki kedekatan dengan penguasa, akan lebih diuntungkan.
Melihat kondisi bobroknya demokrasi yang dipertontonkan DPR, membuat mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat yang celik akan persoalan ini terpantik untuk menyerukan semangat aksi demonstrasi sebagai upaya mengawal keberlangsungan demokrasi yang jujur dan adil.
Aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa publik mulai geram dan tak tinggal diam. Masyarakat, termasuk aktivis dan organisasi non-pemerintah, menganggap langkah ini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi. Mereka menuntut agar DPR menghormati putusan MK dan kembali pada jalur yang benar, yaitu melayani kepentingan rakyat.
Untuk menjaga integritas demokrasi serta memulihkan kepercayaan publik, sangat penting bagi DPR untuk mendengarkan suara rakyat dan menghormati keputusan MK sebagai lembaga yudikatif. Sehingga trias politica di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan benar.
Sebagai mahasiswa, kita harus senantiasa teguh berjuang untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam proses demokrasi dan berpolitik. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya sekadar jargon, tetapi menjadi kenyataan yang ideal dan sesuai dengan yang dicita-citakan. Sehingga dampak baiknya dapat dirasakan oleh seluruh warga negara di setiap sudut Nusantara.
Penulis : Muh Fadlul Rahman Arlan (Ketua Umum HMI Komisariat Pamulang)
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pembaca Tangerangupdate.com. Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.